Minggu, 15 Februari 2015

Kenapa Yang Di Katakan Ini Pendapatku, Bukan al-Quran dan Sunnah

Kalau membaca sejarahnya, setelah Nabi saw wafat,
kita pasti akan mendapati para sahabat Nabi saw
sangat menjaga sekali agar tidak ada yang namanya
pemalsuan hadits. Dari itu setiap kali mereka
mendengar ada orang yang mengaku mempunyai
riwayat hadits dari Nabi saw, mereka tidak langsung
mempercayainya.

Kalau Nabi masih hidup, dengan mudah sekali para
sahabat meminta kepastian dan meurujuk kepada
Nabi saw tentang kabar yang mereka dengar. Tapi
ketika Nabi saw sudah wafat, kepada siapa mereka
meminta kepastian itu?

Itu wajar saja, karena selepas kepergian Nabi saw,
banyak pembenci Islam yang masuk Islam bukan
untuk Islam, tapi untuk mencederai ajaran Islam itu
sendiri. Dan salah satu jalan pencederaan syariah itu
ialah melalui jalur pemalsuan hadits. Untuk itu
mereka para sahabat sangat ketat sekali menerima
hadits.

Di samping itu juga mereka khawatir, kalau tidak teliti benar dalam menerima, mereka bisa salah
menisbatkan kalimat tersebut kepada Nabi saw
padahal sejatinya Nabi tidak mengucapkan itu, yang
mana Nabi saw telah mengancam pelakunya dengan
neraka.

ﻭﻣﻦ ﻛﺬﺏ ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪﺍ ﻓﻠﻴﺘﺒﻮﺃ ﻣﻘﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ

“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia
menyiapkan tempat duduknya di neraka” (Muttafaq
‘alayh)

Ini yang banyak direkam oleh para ulama dalam
kitab-kitab mereka ketika menceritakan kondisi
setelah wafatnya Nabi saw dari sisi periwayatan hadits dan perkembangan tasyri’ Islam (pensyariatan
hukum islam).

Salah satu diantara mereka yang detail
menceritakan itu ialah Sheikh Muhammad al-
Khudhori Baik dalam kitabnya Tarikh Tasyri’ Al-Islami.

Birokrasi Penerimaan Hadits

Singkatnya, para sahabat tidak berani asal menerima
perkataan orang yang mengaku bahwa ia mendengar
hadits dari Nabi saw, kecuali setelah melalui
beberapa birokrasi yang mereka terapkan.
Khalifah pertama contohnya, Sayyidina Abu Bakr
yang mensyaratkan harus ada saksi. Jadi, jika ada
yang datang lalu mengatakan “qola Rasulullah:
…."(Rasulullah saw bersabda: ….. ), tidak sampai
selesai, sayyidina Abu Bakr telah
memberhentikannya sambil menanyakan 2
pertanyaan ini:

“Man sami’a ma’aka hadza?” (siapa lagi selain kamu
yang mendengar ini?)

“Man Syahida laka fi hadza?” (siapa yang jadi
saksimu di hadits ini?)

Jadi untuk sayyidina Abu bakr, birokrasi utama dalam
periwayatan hadits itu ketat, yaitu harus ada saksi
atau ada orang lain yang sama-sama mendengar.

Jadi kalau hanya satu orang yang berkata, itu hanya
pengakuan dan belum bisa diterima.

Itu yang dilakukan oleh sayyidina Abu Bakr, berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Ali bin Abi
Thalib di Kufah. Beliau sadar jarak jauhnya dengan
pusat wayhu (madinah), dan ketika itu tidak banyak
jumlah sahabat yang imigrasi ke Kufah dari Madinah.

Beliau tidak mensyaratkan saksi, karena itu cukup
suli sekali, tapi beliau mensyaratkan adanya yamin
atau sumpah.

Jadi, siapapun yang mengatakan “qola Rasulullah:
….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), ia tidak langsung diterima kecuali setelah ia bersumpah bahwa ia telah benar punya riwayat hadits itu. Sebenarnya ini juga yang menjadi poin atau sumbu perbedaan antara ijtihadnya ulama Madinah (basis madzhab Maliki) dan Ulama Iraq (basis madzhab Hanafi).

Bisa jadi hadits yang diterima di Madinah tapi tidak
di Kufah, namun bisa juga sebaliknya, di Kufah
diterima, namun di Madinah malah tidak.

Sayyidina Umar Menolak Hadits

Contoh yang masyhur ialah apa yang dilakukan oleh
sayyidina Umar bin Khaththab yang mana beliau
mengikuti jejak sayyidina Abu Bakr dalam
penerimaan hadits. Ketika itu beliau mengatakan
bahwa wanita yang ditalak tiga ( bainunah kubra) itu
masih tetap punya hak nafaqah dan tempat tingggal
dari suaminya, dengan dalil ayat 1 surat Al-Talaq.

Dalam ayat disebutkan secara tegas bahwa seorang
suami tidak boleh mengeluarkan istrinya kecuali jika
si istri melakukan perzinahan. Artinya walaupun
sudah di talak 3, wanita tetap diberikan tempat
tinggal, dan pemberian tempat tinggal tidak mungkin
kecuali didalamnya juga termasuk nafkah. Seperti
wanita-wanita lain yang ditalak 1 atau 2 (talak raj’i).
Jadi, menurut sayyidina Umar, wanita yang ditalak 3
( talak bain) itu tetap punya hak tempat tinggal dan
nafkah. Akan tetapi kemudian, fatwa sayyidina Umar
ini ditentang oleh salah seorang wanita yang
bernama Fatimah binti Qois.

Beliau menyanggah fatwa sayyidina Umar dan
mengatakan bahwa wanita yang ditalak 3 itu tidak
punya hak nafkah dan juga tempat tinggal, dengan
dalil bahwa ia (Fatimah binti qois) itu pernah melapor
ke Nabi bahwa suaminya menceraikannya 3 kali dan
Nabi saw tidak memberikannya hak nafkah serta hak
tempat tinggal. Dan hadits ini diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 27344).

Akan tetapi sayyidina Umar membantah kesaksian
wanita tersebut sambil berkata:

ﻟﺎ ﻧﺪﻉ ﻛﺘﺎﺏ ﺭﺑﻨﺎ، ﻭﺳﻨﺔ ﻧﺒﻴﻨﺎ، ﺑﻘﻮﻝ ﺍﻣﺮﺃﺓ، ﻟﺎ ﺃﺩﺭﻱ ﺃﺻﺪﻗﺖ، ﺃﻡ ﻛﺬﺑﺖ

“kami tidak akan meninggalkan quran dan sunnah
Nabi dengan (mengambil) perkataan seorang wanita
yang kita tidak tahu, yang bisa saja ia ingat bisa juga
ia lupa.” (Musnad Ishaq bin Rohawaih, no. 2366)

Perkataan sayyidina Umar ini menjadi salah satu
bukti ketatnya birokrasi penerimaan hadits ketika itu,
sebagaimana kekhawatiran mereka akan kesalahan
menisbatkan sebuah perkataan atau hadits kepada
Nabi saw yang bisa saja keliru. Ini banyak direkam
oleh para ulama sejarah dan ushul. (al-Fushul fi al-
Ushul 3/103)

Penisbatan Ijtihad Fiqih

Dan kehati-hatian dan kekhawatiran para sahabat
dalam penisbatan qaul atau perkataan kepada Nabi
saw, yang akhirnya membuat mereka sangat ketat
karena takut salah dan akhirnya jatuh kepada
ancaman neraka dari nabi saw tersebut merambat
kepada fatwa-fatwa dan ijtihad mereka dalam
masalah hukum (fiqih).

Ya. Ketika mereka berijtihad dalam sebuah masalah
yang memang tidak ada hadits atau ada hadits
namun mereka tidak menerimanya, mereka
berijtihad dan hasil ijtihadnya tersebut mereka
katakan sebagai hasil ijtihadnya, dan itu pendapatnya.

Mereka sama sekali tidak mengatakan “ini adalah
pendapat yang Allah dan Rasul-Nya inginkan!”. Tidak
juga mereka katakan: “ini adalah pendapat yang
benar menurut Allah dan rasul-Nya!”. Walaupun
mereka orang-orang terdekat dengan Nabi saw,
orang yang paling paham dengan al-Quran dan
Sunnah, mereka tidak sampai hati menisbatkan hasil
ijtihad mereka kepada Allah swt dan rasul-Nya.

Kenapa?

Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu
bukanlah sebuah kebenenaran yang Allah swt dan
Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya emnjalankan
tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-
ngaku bahwa ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.

Tapi justru dengan tegas mereka, para sahabat
mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah
pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur seperti
ini:

“ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari
(anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku
sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya
terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”

Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi
sangat tawadhu’ sekali. Perkataan sahabat yang
seperti ini banyak ditulis oleh ulama dalam kitab-
kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu
Taimiyah (728 H), dalam banyak halaman di kitab
beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10,
hal. 450:

ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻔﺘﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﺑﺎﺟﺘﻬﺎﺩﻫﻢ:
ﺇﻥ ﻳﻜﻦ ﺻﻮﺍﺑﺎ ﻓﻤﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻥ ﻳﻜﻦ ﺧﻄﺄ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﻲ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ
ﺑﺮﻳﺌﺎﻥ ﻣﻨﻪ

“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat
lainnya telah berkata dalam setiap fatwa yang
merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau ini
benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah
maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah
serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar
sesuai quran dan sunnah!”. Sebagaimana juga para
sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja ijtihadnya
itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang
salah kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.

Ijtihad Ulama Madzhab

Dan cara hati-hati serta tawadhu’ inilah yang
kemudian diteruskan budayanya oleh para ulama
setelahnya, termasuk para imam madzhab dan
ulama dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan.
Kalau kita buka kitab-kitab madzhab, kita akan dapati
bahwa ulama mereka tidak pernah mengatakan:
“inilah pendapat yang benar/rojih menurut kitab dan
sunnah.”. tidak seperti itu! Mereka justru
menisbatkan fatwa mereka ke imam mereka sendiri
atau ke madzhab mereka.

Dalam hal ini, para fuqaha’ punya kalimat masyhur
sekali untuk menunjukkan penisbatan pendapat
tersebut kepada madzhab mereka, yakni bahwa ini
adalah fatwa kami atau hasil ijtihad kami. Salah
satunya dan ini yang paling sering, yaitu kata ‘Indana
[ﻋﻨﺪﻧﺎ] (menurut kami). Mereka tidak mengatakan:
‘inda al-Quran wa sunnah [ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ] (menurut Quran dan Sunnah).

Madzhab Hanafi

ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﻭﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ ﺇﺫﺍ ﻗﺘﻞ ﻣﻮﺭﺛﻪ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﻤﻴﺮﺍﺙ ﻋﻨﺪﻧﺎ

“dan adapun jika orang gila atau anak kecil
membunuh pewarisnya, ia tidak diharamkan
mendapat warisan menurut kami”. (al-Mabsuth
30/48)

Madzhab Maliki

ﻭﺍﻟﻌﻴﺪ ﻣﺄﺧﻮﺫ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻮﺩ ﻟﺘﻜﺮﺭﻩ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺳﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺳﻨﺔ ﻣﺆﻛﺪﺓ

“dan ‘Ied (sholat Ied) itu diambil dari kata al-‘aud
(kembali) karena sering terulang/kembali setiap
tahun, dan sholat ini menurut kami hukumnya
sunnah muakkad” (al-Dzakhiroh 2/417)

Madzhab Al-Syafi’i

ﻓﻲ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺍﻵﺩﻣﻲ ﺑﺎﻟﻤﻮﺕ: ﻗﺪ ﺫﻛﺮﻧﺎ ﺃﻥ ﺍﻷﺻﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﺠﺲ

“dalam kenajisan manusia karena meninggal:
sebagaimana yang telah kami sebutkan, bahwa yang
benar menurut kami adalah ia tidak najis” (Al-
Majmu’ 2/563)

Madzhab Al-Hanabilah

ﺗﺠﺐ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﻓﻲ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﻭﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ، ﺑﻠﺎ ﺧﻠﺎﻑ ﻋﻨﺪﻧﺎ.

“wajib (mengeluarkan) zakat dari harta anak kecil dan orang gila tanpa ada yang menyelisih, menurut
kami” (Al-Inshaf ¾)

Ya. Mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh para
sahabat dan guru-guru mereka dali ulama salaf yang
memang seperti itu. Bukan karena mereka tidak
berhukum dengan al-Quran dan Sunnah. Bukan!
Justru mereka lah para ulama yang Allah berikan
kefahaman komrehensif terhadap al-Quran dan
Sunnah.

Mereka tentu sangat mengerti tentang itu semua.
Mereka melakukan itu karena memang khawatir
akhirnya mereka berbohong atas Quran dan sunnah.
Karena itu lebih selamat (dan memang begitu
seharusnya) mereka menisbatkan fatwa dan
ijtihadnya kepada dirinya sendiri, sambil bersyukur
kalau ijtihadnya benar, itu adalah dari Allah swt
bukan dirinya sendiri.

Jadi, itu dia kenapa para ulama menisbatkan ijtihad
dan fatwa mereka kepada diri mereka sendiri,
mereka mengatakan: " Ini pendapat yang benar
menurut kami!". Dan sama sekali tidak mengatakan:
"ini pendapat yang benar menurut al-Quran dan
Sunnah!". khawatir itu penisbatan yang jadi dusta
atas nama al-Quran dan Sunnah.

Mohon di koreksi lagi, dan di cocok kan dengan referensi referensi lain, terima kasih.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penjelasan singkat tentang sumber kuota data internet

  Internet itu apa? Internet adalah jaringan komputer global yang terhubung bersama yang memungkinkan pengguna untuk saling bertukar info...