Rabu, 25 April 2018

Alasan Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim


Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Malik tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tersahih?
Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh2 tsb.

Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?

Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim?

Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka lebih awal lahir daripada Imam Hadits tsb.

Rasulullah SAW bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]

Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah

Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang berlagak jadi ahli hadits dgn menghakimi pendapat Imam Mazhab dgn Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, ya keblinger. Hasil “ijtihad” mereka pun berbeda-beda satu sama lain…

Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2 sahabat Nabi di Madinah. Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian.

Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meski termasuk pakar hadits paling top, tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie.

Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab

Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih Bukhari dan Muslim.

Kenapa?

Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan hadits dari generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada generasi berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada generasi sebelumnya.

Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus mengambil hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu muridnya?

Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih terjamin ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.

Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.

Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits dan bukan kesempurnaan produk pabrik.

Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi’i.

Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).

Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?

Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?

Al-Imam Asy-syafi’i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.

Cuma baru sampai mengetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari duapuluh tiga puluh langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.

Umat Terlalu Awam Dapat Informasi Diplintir

Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki. Seolah-olah imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.

Padahal keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan para ulama peneliti hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad adalah harus menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan haditsnya. Imam Malik itu penyusun Al-Muwaththa’ yang tiga khalifah memintahnya agar dijadikan kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang sebagai mujtahid dalam ilmu fiqih.

Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.

Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.

Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.

Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.

Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.

Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.

Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.

Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.

Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits

Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.

Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu Rasulullah SAW, lebih dekat.

Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.

Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih rendah.

Apalagi yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi sekedar mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi. Bukhari itu melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh dunia Islam. Tujuannya untuk bertemu langsung para perawi hadits yang masih tersisa. Maksudnya untuk mengetahui langsung seperti apa kualitas hafalan dan kualitas keislaman mereka.

Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak

Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak lagi.

Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau malah tidak bisa melakukan apa-apa.

Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup dan bisa diwawancarai langsung.

Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa mengerjakannya.

Dosen hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits kepada anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan seperti itu bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu hadits di bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit diberi pelatihan singkat, asalkan tekun tiap hari nongkrong di perpustakaan, bisa melakukan penelitian kelas-kelas rendahan. Siapapun bisa melakukannya dengan mudah.

Apalagi zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup masukkan keyword saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja.

Kalau baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi derajatnya dari Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika. Jangankan merasa lebih tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan.

Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik lagi.

Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di zaman serba awam dan serba tidak tahu.

Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.

Lebih lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan ulama betulan, melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan kata-kata kasar, maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah dia adalah utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi anugerah bagi alam semesta.

Seolah-olah kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak setuju dengan seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan dengannya akan dihujani cacian makian dan sumpah serapah.

Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber:
 http://www.muslimedianews.com/2015/04/alasan-imam-mazhab-tidak-pakai-hadits.html?m=1


Senin, 09 April 2018

TANYA JAWAB SEPUTAR MA'MUM MASBUQ OLEH SYADILY EL-TIBYAN MEDENG.

Bagi ma'mum masbuq, memungkinkan sekali bacaan fatihahnya pada setiap roka'at dihukumi gugur (sholat tanpa membaca fatihah sama sekali).

Tanya:
Judulnya penuh tanda tanya, awas hati-hati, nanti bisa di salah paham lho.. apa sih ma'mum masbuq itu?
Jawab:
Judul tidak untuk di salah paham, bahkan agar dapat di paham.
Secara singkat, ma'mum masbuq adalah ma'mum yang tidak mendapatkan waktu bersama imam yang sekiranya mencukupi untuk bacaan fatihah secara normal (baik itu pada roka’at pertama ataupun roka'at yang lainnya).

Tanya:
Mana referensinya?
Jawab:
كتاب نهاية الزين

وَهُوَ من لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة

كتاب حاشية البجيرمي على الخطيب  تحفة الحبيب على شرح الخطيب

وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَأْمُومَ إمَّا مُوَافِقٌ، وَإِمَّا مَسْبُوقٌ وَالْأَوَّلُ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ قِيَامِ الْإِمَامِ قَدْرًا يَسَعُ الْفَاتِحَةَ بِالنِّسْبَةِ لِلْوَسَطِ الْمُعْتَدِلِ لَا لِقِرَاءَةِ نَفْسِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ، وَالْمَسْبُوقُ مَنْ لَمْ يُدْرِكْ ذَلِكَ
قَوْلُهُ: (إلَّا رَكْعَةَ مَسْبُوقٍ) يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ الِاسْتِثْنَاءُ  مُتَّصِلًا إنْ قُدِّرَ فِي قَوْلِهِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، أَيْ فَتَجِبُ وَيَسْتَقِرُّ وُجُوبُهَا، وَأَنْ يَكُونَ مُنْقَطِعًا إنْ قُدِّرَ فَتَجِبُ فَقَطْ لِأَنَّ الْمُسْتَثْنَى نَفْيُ الِاسْتِقْرَارِ وَهُوَ لَيْسَ مِنْ جِنْسِ الْوُجُوبِ. وَعِبَارَةُ ع ش الِاسْتِثْنَاءُ بِالنَّظْرِ لِمُجَرَّدِ الْوُجُوبِ مُنْقَطِعٌ، وَبِالنَّظَرِ لِكَوْنِ الْمُرَادِ بِالْوُجُوبِ الِاسْتِقْرَارَ مُتَّصِلٌ، وَالْمُرَادِ بِالْمَسْبُوقِ بِهَا حَقِيقَةً كَأَنْ وَجَدَهُ رَاكِعًا أَوْ حُكْمًا كَأَنْ زُحِمَ عَنْ السُّجُودِ فَإِنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَسْبُوقِ بِالنِّسْبَةِ لِلرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ، فَإِذَا قَامَ بَعْدَ سُجُودِهِ وَوَجَدَ الْإِمَامَ رَاكِعًا رَكَعَ مَعَهُ، أَوْ كَانَ بَطِيءَ الْقِرَاءَةِ أَوْ الْحَرَكَةِ أَوْ نَسِيَ أَنَّهُ فِي الصَّلَاةِ وَتَخَلَّفَ لِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فَإِنَّهُ يُغْتَفَرُ ثَلَاثَةُ أَرْكَانٍ طَوِيلَةٍ، فَإِذَا قَرَأَهَا وَلَمْ يُسْبَقْ بِأَكْثَرَ مِنْهَا وَمَشَى عَلَى نَظْمِ صَلَاتِهِ ثُمَّ قَامَ فَوَجَدَ الْإِمَامَ رَاكِعًا أَوْ هَاوِيًا لِلرُّكُوعِ رَكَعَ مَعَهُ وَسَقَطَتْ عَنْهُ الْفَاتِحَةُ اهـ حَلَبِيٌّ. وَكَوْنُ هَذَا فِي حُكْمِ الْمَسْبُوقِ ظَاهِرٌ إذَا فَسَّرْنَاهُ بِاَلَّذِي لَمْ يُدْرِكْ مَعَ الْإِمَامِ زَمَنًا يَسَعُ الْفَاتِحَةَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى، وَأَمَّا إذَا فُسِّرَ بِمَنْ لَمْ يُدْرِكْ مَعَ الْإِمَامِ زَمَنًا يَسَعُ الْفَاتِحَةَ بِأَيِّ رَكْعَةٍ، فَتَكُونُ هَذِهِ الصُّوَرُ مِنْهُ حَقِيقَةً. وَقَالَ الَأُجْهُورِيُّ. الْمُرَادُ بِهِ مَنْ لَمْ يُدْرِكْ خَلْفَ إمَامِهِ زَمَنًا يَسَعُ الْفَاتِحَةَ بِالنِّسْبَةِ لِقِرَاءَةِ الْوَسَطِ الْمُعْتَدِلِ لَا لِقِرَاءَةِ إمَامِهِ

Tanya:
Apakah bacaan fatihah di dalam sholat itu tidak wajib, koh bisa-bisanya diatas anda mengatakan sholat tanpa membaca fatihah?
Jawab:
Singkatnya, bacaan fatihah di dalam sholat tentunya wajib, sebab salah satunya rukun sholat adalah membaca fatihah. Namun, wajibnya membaca fatihah itu tidak tetap, dalam arti bagi ma'mum masbuq suatu saat dapat gugur (wajib kemudian gugur, karena di tanggung oleh imam).

Tanya:
Mana referensinya?
Jawab:
كتاب نهاية الزين

(و) رَابِعهَا (قِرَاءَة فَاتِحَة كل رَكْعَة) فِي قِيَامهَا أَو بدله (إِلَّا رَكْعَة مَسْبُوق  

كتاب حاشية البجيرمي على الخطيب  تحفة الحبيب على شرح الخطيب

قَوْلُهُ: (بِمَعْنَى أَنَّهُ لَا يَسْتَقِرُّ وُجُوبُهَا عَلَيْهِ) أَيْ فَقَدْ وَجَبَتْ ثُمَّ سَقَطَتْ قَوْلُهُ: (لِتَحَمُّلِ الْإِمَامِ لَهَا عَنْهُ) بِشَرْطِ أَنْ لَا يَكُونَ الْإِمَامُ مُحْدِثًا أَوْ فِي رَكْعَةٍ زَائِدَةٍ. اهـ. عَنَانِيٌّ. فَالْمُرَادُ بِالْإِمَامِ الْأَهْلُ لِلتَّحَمُّلِ، فَيُدْرِكُ الرَّكْعَةَ بِإِدْرَاكِهِ مَعَهُ رُكُوعَهُ الْمَحْسُوبَ لَهُ، وَلَوْ نَوَى مُفَارَقَةَ إمَامِهِ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الْأُولَى ثُمَّ اقْتَدَى بِإِمَامٍ رَاكِعٍ وَقَصَدَ بِذَلِكَ إسْقَاطَ الْفَاتِحَةِ صَحَّتْ فِي أَوْجَهِ احْتِمَالَيْنِ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ وَاسْتَقَرَّ رَأْيُهُ عَلَيْهِ آخِرًا اهـ

Tanya:
Coba contohkan pemraktekan ma'mum masbuq seperti apa yang anda tuliskan dalam judul?
Jawab:
Baiklah, semisal si A adalah ma'mumnya, di depan si A ada si B, si C, dan si D (ketiganya sholat munfarid). Untuk roka'at pertama (semisal sholat 4 roka'at) si A niat ma'mum kepada si B disaat si B sedang dalam posisi ruku', si A dihukumi ma'mum masbuq, jadi jika si A langsung mengikuti ruku' dan dapat bersama-sama dengan si B ketika si B dalam posisi tuma'ninahnya ruku', maka si A dihukumi mendapat satu roka'at (si A tidak membaca fatihah sama sekali, dan fatihahnya si A ditanggung oleh si B sebagai imamnya).
Kemudian, ketika si A selesai mengikuti si B  sampai berdiri untuk melakukan roka'at yang kedua, ternyata si C yang didepannya (sholat munfarid) sedang dalam posisi ruku', pada posisi seperti ini, si A niat mufaroqoh kemudian niat ma'mum kepada si C, jika si A dapat bersama-sama dengan si C ketika si C dalam posisi tuma'ninahnya ruku', maka si A dihukumi mendapat satu roka'at (lagi-lagi si A tidak membaca fatihah sama sekali, sebab fatihahnya si A ditanggung oleh si C sebagai imamnya).
Selanjutnya, ketika si A selesai mengikuti si C  sampai berdiri untuk melakukan roka'at yang ketiga, ternyata si D yang didepannya (sholat munfarid) sedang dalam posisi ruku', pada posisi seperti ini, si A niat mufaroqoh kemudian niat ma'mum kepada si D, jika si A dapat bersama-sama dengan si D ketika si D dalam posisi tuma'ninahnya ruku', maka si A dihukumi mendapat satu roka'at (lagi-lagi si A tidak membaca fatihah sama sekali, sebab fatihahnya si A ditanggung oleh si D sebagai imamnya).
Lalu, ketika si A selesai mengikuti si D sampai berdiri untuk melakukan roka'at yang keempat, ternyata si C yang didepannya (sholat munfarid) sedang dalam posisi ruku', pada posisi seperti ini, si A niat mufaroqoh kemudian niat ma'mum kepada si C, jika si A dapat bersama-sama dengan si C ketika si C dalam posisi tuma'ninahnya ruku', maka si A dihukumi mendapat satu roka'at (lagi-lagi si A tidak membaca fatihah sama sekali, sebab fatihahnya si A ditanggung oleh si C sebagai imamnya).
Jadi, si A selalu dihukumi ma'mum masbuq pada setiap roka'atnya. Dan contoh yang seperti ini pada setiap roka'atnya hukum bacaan fatihah si A dihukumi gugur, sebab bacaan fatihahnya ditanggung oleh imam.

Tanya:
Wah, koh bisa seperti itu, mana referensinya?
Jawab:
كتاب نهاية الزين

وَلَو اقْتدى بِإِمَام رَاكِع فَرَكَعَ وَاطْمَأَنَّ مَعَه فِي رُكُوعه وَلما أتم الرَّكْعَة وَقَامَ وجد إِمَامًا غَيره رَاكِعا فَنوى مُفَارقَة هَذَا واقتدى بِالْآخرِ وَركع وَاطْمَأَنَّ مَعَه وَهَكَذَا إِلَى آخر صلَاته جَازَ وعَلى هَذَا فَيمكن سُقُوط الْفَاتِحَة عَنهُ فِي جَمِيع الرَّكْعَات

Tanya:
Ok, sekarang saya tanya, apabila ma'mum bacaan fatihahnya normal sedangkan imam bacaan fatihahnya sangat cepat, sehingga pada roka'at ke tiga dan ke empat (pada sholat ‘isya) tiba-tiba imam ruku', padahal ma'mum belum selesai membaca fatihahnya. Dalam posisi seperti ini, apa yang sebaiknya dilakukan oleh si ma'mum?
Jawab:
Sudah saya singgung diatas, secara singkat, ma'mum masbuq adalah ma'mum yang tidak mendapatkan waktu bersama imam yang sekiranya mencukupi untuk bacaan fatihah secara normal (baik itu pada roka’at pertama ataupun roka'at yang lainnya).
Dengan demikian, bagi si ma'mum yang mengalami seperti itu, yang seharusnya dilakukan adalah langsung mengikuti imamnya ruku', meski bacaan fatihahnya belum selesai. Sebab bacaan fatihahnya ditanggung oleh imam. Dengan catatan, si ma'mum tidak membaca bacaan sunat terlebih dahulu sebelum membaca fatihah, artinya dia langsung membaca basmalah dan pada saat imam yang bacaannya cepat tersebut tiba-tiba ruku', maka ikuti saja imam tersebut. Yang seperti ini juga termasuk contoh bahwa hukum ma'mum masbuq itu bukan hanya pada roka'at pertama saja, namun hukum ma'mum masbuq dapat terjadi pada setiap roka'at. 
Dengan demikian, memungkinkan sekali ma'mum hanya dapat membaca sebagian fatihahnya saja dan sebagiannya lagi di hukumi gugur sebab ditanggung oleh imam.

Tanya:
Ohya, mana referensinya?
Jawab:
كتاب نهاية الزين

وَلَو اقْتدى بِإِمَام سريع الْقِرَاءَة على خلاف الْعَادة وَالْمَأْمُوم معتدلها وَكَانَ فِي قيام كل رَكْعَة لَا يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة من الْوسط المعتدل فَهُوَ مَسْبُوق فِي كل رَكْعَة فَيقْرَأ من الْفَاتِحَة مَا أدْركهُ وَإِذا ركع إِمَامه ركع مَعَه وَسقط عَنهُ بَاقِي الْفَاتِحَة لتحمل الإِمَام لَهُ وعَلى هَذَا فَيمكن سُقُوط بعض الْفَاتِحَة عَنهُ فِي كل رَكْعَة

Referensi dari dua kitab:


1. Kitab Nihayatuz Zain Halaman 60.
2. Kitab Khasyiyah Al-Bujairomi 'Alal Khotib Juz 2 Halaman 21.


والله أعلمُ بالصواب

Sabtu, 07 April 2018

Wali Telah Mewakilkan, Bolehkah Hadir di Majelis Akad Nikah?

Dalam sebuah rangkaian proses pernikahan seorang laki-laki dan perempuan prosesi ijab kabul adalah waktu yang paling menentukan sekaligus mendebarkan bagi banyak pihak. Bukan saja bagi pasangan calon pengantin yang akan berjodohan namun juga bagi orang tua kedua mempelai terlebih seorang ayah yang menjadi wali atas anak perempuannya yang akan dinikahkan.

Pada dasarnya banyak orang tua yang berkeinginan menikahkan sendiri anak perempuannya saat proses ijab kabul, tidak diwakilkan kepada penghulu. Hanya saja ketidakmampuan karena terbatasnya ilmu atau kondisi perasaan hati yang tak menentu terkadang menjadi kendala sehingga pengucapan ijab diwakilkan kepada penghulu atau orang lain yang dipandang mampu.

Pada saat yang demikian orang tua yang juga menjadi wali pengantin perempuan cukup berbahagia meski hanya bisa menyaksikan proses ijab kabul pernikahan anaknya. Hanya saja kebahagiaan tersebut terkadang tak terwujud dikarenakan adanya pemahaman sebagian masyarakat yang melarang seorang wali berada di majelis akad nikah bila telah mewakilkan kepada orang lain.

Ya, tak bisa dipungkiri bahwa di beberapa daerah masih ada sebagian masyarakat yang memahami bahwa apabila seorang wali nikah telah mewakilkan pengikraran ijabnya kepada orang lain maka ia tak diperbolehkan hadir di majelis akad nikah tersebut. Wali yang telah mewakilkan harus pergi dalam artian tidak hadir di majelis atau bahkan benar-benar pergi dari wilayah dimana akad nikah diselenggarakan. Hal ini tentunya membuat sang wali sebagai orang tua bersedih hati karena tak bisa menyaksikan proses ijab kabul pernikahan putrinya yang menjadi awal kehidupan baru bagi sang anak dan juga bisa dikata sebagai “perpisahan” dengannya.

Lalu bagaimana sesungguhnya fiqih Islam mengatur hal itu?

Di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr karya Imam Taqiyudin Al-Hishni disebutkan sebuah keterangan sebagai berikut:

فرع - يشْتَرط فِي صِحَة عقد النِّكَاح حُضُور أَرْبَعَة ولي وَزوج وشاهدي عدل وَيجوز أَن يُوكل الْوَلِيّ وَالزَّوْج فَلَو وكل الْوَلِيّ وَالزَّوْج أَو أَحدهمَا أَو حضر الْوَلِيّ ووكيله وَعقد الْوَكِيل لم يَصح النِّكَاح لِأَن الْوَكِيل نَائِب الْوَلِيّ وَالله أعلم

“(Cabang) Dalam keabsahan akad nikah disyaratkan hadirnya empat orang yang terdiri dari suami, wali dan dua orang saksi yang adil. Wali dan suami diperbolehkan mewakilkan kepada orang lain (untuk melakukan ijab kabul). Maka bila wali dan suami atau salah satunya telah mewakilkan kepada orang lain atau wali dan wakilnya hadir (pada saat akad nikah) lalu sang wakil melakukan akad nikah maka pernikahannya tidak sah, karena wakil adalah pengganti wali. Wallahu a’lam.” (Taqiyudin Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr [Bandung: Al-Ma’arif, tt], juz 2, hal. 51)

Dari apa yang disampaikan oleh Imam Al-Hishni di atas bisa dipahami bahwa bila seorang wali yang telah mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan akad nikah lalu wali tersebut juga hadir pada majelis akad tersebut maka pernikahan dianggap tidak sah. Barangkali atas dasar teks inilah sebagian masyarakat kemudian mengharuskan wali untuk meninggalkan majelis akad bila telah mewakilkan pada penghulu atau orang lain yang dianggap berkopenten. 

Bila teks di atas dipelajari lebih lanjut kiranya akan bisa diambil pemahaman yang lain dari pemahaman di atas. Kalimat “disyaratkan hadirnya empat orang yang terdiri dari suami, wali dan dua orang saksi yang adil” pada teks di atas bisa menjadi kata kunci. Dengan kalimat tersebut mushannif (pengarang kitab) barangkali bermaksud menyampaikan bahwa tidak sahnya pernikahan tersebut apabila yang hadir di majelis akad nikah hanya empat orang saja sebagaimana disebut di atas.

Dalam keadaan demikian maka sesungguhnya yang menghadiri majelis akad tersebut hanya tiga orang saja, yakni suami, wali dan satu orang saksi. Satu orang lagi yang ditunjuk sebagai wakilnya wali sudah tidak lagi menjadi saksi. Sedangkan sang wali yang ikut hadir di sana meskipun ikut menyaksikan namun tidak bisa dianggap sebagai saksi karena pada hakikatnya dia berstatus sebagai wali hanya saja pelaksanaan ijabnya diwakilkan pada orang lain. Bila demikian adanya maka bisa dibenarkan ketidakabsahan akad nikah tersebut. Hanya saja sesungguhnya teks tersebut juga tidak bermaksud menetapkan larangan hadirnya wali yang telah mewakilkan sebagaimana dipahami sebagian masyarakat.

Pemahaman ini kiranya bisa diterima bila mencermati teks-teks fiqih yang lain yang disampaikan oleh para ulama di dalam berbagai kitab. Di antaranya apa yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi dalam kitab Nihayatuz Zain. Beliau menuturkan:

وَلَا بِحَضْرَة مُتَعَيّن للولاية فَلَو وكل الْأَب أَو الْأَخ الْمُنْفَرد فِي النِّكَاح وَحضر مَعَ شَاهد آخر لم يَصح النِّكَاح لِأَنَّهُ ولي عَاقد فَلَا يكون شَاهدا

Artinya: “Dan tidak sah sebuah pernikahan dengan dihadiri orang yang menentukan (orang lain) untuk perwalian. Maka bila seorang bapak atau seorang saudara seorang diri (yang menjadi wali) mewakilkan kepada orang lain dalam akad nikah dan bapak atau saudara itu hadir bersama seorang saksi yang lain maka pernikahan itu tidak sah, karena ia—bapak atau saudara itu pada hakikatnya—adalah wali yang mengakadkan, maka tidak bisa menjadi saksi.” (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihâyatuz Zain [Bandung, Al’Ma’arif, tt], hal. 306)

Bukan hanya Syekh Nawawi yang memaparkan hal tersebut. Beberapa ulama Syafi’iyah yang lain seperti Imam Zakariya Al-Anshari, Sulaiman al-Jamal, Zainudin al-Malibari dan Bujairami juga mengungkapkan hal yang sama di dalam kitab-kitab mereka.

Bila mencermati teks di atas kiranya bisa menjadi penguat pemahaman bahwa hadirnya wali yang telah mewakilkan di majelis akad nikah bisa menjadikan tidak sahnya akad tersebut bila ia berlaku sebagai saksi sementara tidak ada lagi orang yang hadir selain suami, satu orang saksi, wali yang telah mewakilkan, dan orang yang mewakili wali. Karena dengan demikian akad nikah tersebut hanya disaksikan oleh satu orang saksi, sedang sang wali meski menyaksikan namun tidak bisa dianggap sebagai saksi.

Pada kenyataannya yang terjadi di masyarakat bukanlah demikian. Ketika wali telah mewakilkan kepada penghulu atau orang lain dan ia tetap hadir di majelis untuk menyaksikan proses ijab kabul anak perepuannya, masih banyak orang lain yang hadir menyaksikan akad tersebut. Dengan demikian kendati sang wali tidak bisa dianggap sebagai saksi namun masih ada banyak orang lain yang hadir sebagai saksi. Oleh karena itu pula pernikahan tersebut dianggap sah karena semua syarat telah terpenuhi.

Sebagai penekanan sekali lagi disampaikan bahwa apa yang disampaikan oleh Al-Hishni di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr-nya bukanlah dimaksudkan untuk melarang wali tetap hadir di majelis akad nikah bila telah mewakilkan kepada orang lain. Juga bukan pula untuk membatalkan pernikahan yang dihadiri wali yang telah mewakilkan kepada orang lain secara mutlak. Ketidakabsahan pernikahan sebagaimana disebut Al-Hishni di atas adalah bila dalam kondisi proses akad tersebut hanya dihadiri unsur rukun minimal dimana wali mewakilkan kepada orang lain sedangkan ia sendiri bertindak sebagai saksi. Dengan bahasa lain, ijab kabul pernikahan tetap sah meskipun wali yang mewakilkan hadir dan sekadar menonton prosesi akad di lokasi, bukan merangkap sebagai saksi. Wallahu a’lam(Yazid Muttaqin)

Sumber:
http://www.nu.or.id/post/read/83087/wali-telah-mewakilkan-bolehkah-hadir-di-majelis-akad-nikah

Penjelasan singkat tentang sumber kuota data internet

  Internet itu apa? Internet adalah jaringan komputer global yang terhubung bersama yang memungkinkan pengguna untuk saling bertukar info...