Senin, 14 Oktober 2019

PENDAPAT ULAMA SOAL MEMAJANG GAMBAR ATAU LUKISAN DI RUMAH

Menyimpan lukisan atau gambar-gambar sebagai penghias rumah sudah merupakan hal yang lumrah dilakukan masyarakat. Gambar dan lukisan yang disimpan cenderung variatif, mulai dari gambar tokoh, hewan, pemandangan alam, dan aneka gambar serta lukisan lain sesuai selera pemilik atau desain interior rumah.   

Lantas sebenarnya bagaimana syariat menyikapi realitas demikian? Bolehkah bagi seorang Muslim untuk menyimpan berbagai gambar dan lukisan dalam rumahnya?   Dalam berbagai hadits memang dijelaskan tentang larangan menyimpan gambar atau lukisan di dalam rumah. Misalnya seperti dalam hadits berikut:

   إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ   

 “Sesungguhnya Malaikat tidak masuk pada rumah yang terdapat gambar di dalamnya” (HR. Baihaqi).   

Berdasarkan hadits di atas, dapat dipahami seolah-olah menyimpan gambar di dalam rumah merupakan sebuah larangan syariat yang tidak dapat ditoleransi. Namun, rupanya terdapat hadits lain yang mengindikasikan ditoleransinya menyimpan gambar di dalam rumah, seperti hadits berikut ini: 

  عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي طَلْحَةَ الأَنْصَارِيِّ يَعُودُهُ فَوَجَدَ عِنْدَهُ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ فَأَمَرَ أَبُو طَلْحَةَ إِنْسَانًا يَنْزِعُ نَمَطًا تَحْتَهُ ، فَقَالَ لَهُ سَهْلٌ : لِمَ تَنْزِعُهُ ؟ قَالَ : لأَنَّ فِيهِ تَصَاوِيرَ ، وَقَدْ قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ عَلِمْتَ ، قَالَ : أَلَمْ يَقُلْ إِلاَّ مَا كَانَ رَقْمًا فِي ثَوْبٍ ، قَالَ : بَلَى ، وَلَكِنَّهُ أَطْيَبُ لِنَفْسِي  

Diriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bahwa ia berkunjung pada Abu Thalhah al-Anshari untuk menjenguknya. Di sana terdapat Sahl bin Hunaif, lalu Abu Thalhah memerintahkan seseorang untuk melepaskan tikar yang ada di bawahnya, melihat hal tersebut, Sahl bertanya: “Kenapa engkau melepasnya?”    “Sebab pada tikar itu terdapat gambar, dan Rasulullah telah mengatakan tentang larangan menyimpan gambar, seperti halnya yang engkau tahu” jawab Abu Thalhah.   “Bukankah Rasulullah mengatakan: ‘Kecuali gambar yang ada di pakaian?’” sanggah Sahl   “Iya memang, tapi melepaskan (tikar) lebih menenteramkan hatiku” ungkap Abu Thalhah” (HR. An-Nasa’i).   

Dari dua hadits di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kategori lukisan atau gambar yang dilarang oleh syara’ untuk membuat ataupun menyimpannya. Namun para ulama sepakat atas keharaman suatu gambar ketika memenuhi lima kategori berikut: 

  فعلم أن المجمع على تحريمه من تصوير الأكوان ما اجتمع فيه خمسة قيود عند أولي العرفان أولها ؛ كون الصورة للإنسان أو للحيوان ثانيها ؛ كونها كاملة لم يعمل فيها ما يمنع الحياة من النقصان كقطع رأس أو نصف أو بطن أو صدر أو خرق بطن أو تفريق أجزاء لجسمان ثالثها ؛ كونها في محل يعظم لا في محل يسام بالوطء والامتهان رابعها ؛ وجود ظل لها في العيان خامسها ؛ أن لا تكون لصغار البنان من النسوان   فإن انتفى قيد من هذه الخمسة . . كانت مما فيه اختلاف العلماء الأعيان . فتركها حينئذ أورع وأحوط للأديان    

“Maka dapat dipahami bahwa gambar yang disepakati keharamannya adalah gambar yang terkumpul di dalamnya lima hal. Pertama, gambar berupa manusia atau hewan. Kedua, gambar dalam bentuk yang sempurna, tidak terdapat sesuatu yang mencegah hidupnya gambar tersebut, seperti kepala yang terbelah, separuh badan, perut, dada, terbelahnya perut, terpisahnya bagian tubuh. Ketiga, gambar berada di tempat yang dimuliakan, bukan berada di tempat yang biasa diinjak dan direndahkan. Keempat, terdapat bayangan dari gambar tersebut dalam pandangan mata. Kelima, gambar bukan untuk anak-anak kecil dari golongan wanita. Jika salah satu dari lima hal di atas tidak terpenuhi, maka gambar demikian merupakan gambar yang masih diperdebatkan di antara ulama. Meninggalkan (menyimpan gambar demikian) merupakan perbuatan yang lebih wira’i dan merupakan langkah hati-hati dalam beragama” (Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani, Majmu’ fatawa wa ar-Rasa’il, hal. 213)   

Jika melihat dari referensi di atas, maka gambar atau lukisan yang biasa terdapat di rumah-rumah tergolong sebagai suatu gambar yang masih diperdebatkan di antara ulama tentang boleh-tidaknya menyimpan gambar tersebut, sebab umumnya lukisan dan gambar yang dipajang di rumah-rumah tidak memiliki bayangan, sebab hanya dalam bentuk yang datar.    

Klasifikasi perbedaan pendapat mengenai gambar ini dihimpun secara runtut dalam kitab Rawai’ al-Bayan dengan mengutip pandangan Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani:  

 وقال الإمام النووى: إن جواز اتخاذ الصور إنما هو إذا كانت لا ظل لها وهى مع ذلك مما يوطأ ويداس أو يمتهن بالاستعمال كالوسائد وقال العلامة ابن حجر فى شرحه للبخارى حاصل ما فى اتخاذ الصور أنها إن كانت ذات أجسام حرم بالإجماع وإن كانت رقما فى ثوب فأربعة أقوال: الأول: يجوز مطلقا عملا بحديث إلا رقما فى الثوب الثانى: المنع مطلقا عملا بالعموم الثالث: إن كانت الصورة باقية بالهيئة قائمة الشكل حرم وإن كانت مقطوعة الرأس أو تفرقت الأجزاء جاز قال: وهذا هو الأصح الرابع: إن كانت مما يمتهن جاز وإلا لم يجز واستثنى من ذلك لعب البنات   

“Imam Nawawi menjelaskan bahwa boleh menggunakan gambar hanya ketika tidak memiliki bayangan, selain itu gambar tersebut juga biasa diinjak atau direndahkan penggunaannya, seperti bantal.”    Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani saat mensyarahi kitab Imam Bukhari mengatakan, “Kesimpulan dalam penggunaan gambar bahwa sesungguhnya jika gambar memiliki bentuk tubuh (jism) maka haram secara ijma’. Jika gambar hanya sebatas raqm (gambar) dalam baju, maka terdapat empat pendapat. Pertama, boleh secara mutlak, berdasarkan redaksi hadits illa raqman fits tsaubi (kecuali gambar dalam baju). Kedua, haram secara mutlak, berdasarkan keumuman redaksi hadits. Ketiga, jika gambarnya dapat menetap dengan keadaan yang dapat berdiri sendiri, maka hukumnya haram. Namun jika gambarnya terpotong kepalanya atau terpisah bagian tubuhnya maka boleh. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat yang ashah (paling kuat). Keempat, jika gambarnya merupakan gambar yang dianggap remeh maka diperbolehkan, jika tidak dianggap remeh (diagungkan misalnya) maka tidak diperbolehkan. Dikecualikan dari permasalahan di atas adalah mainan anak kecil” (Syekh Muhammad Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, juz 2, hal. 415).    

Ulama yang berpandangan tentang bolehnya menyimpan gambar atau lukisan di dalam rumah, salah satunya adalah ulama kenamaan mesir, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi. Beliau menjelaskan tentang permasalahan ini dalam himpunan fatwanya:   

س: ما القول فيمن يزينون الحائط برسوم بعض الحيوانات؟ هل هذه ينطبق عليها ما ينطبق على التماثيل البارزة المجسدة من تحريم؟   (ج): يقول فضيلة الشيخ الشعراوى: لا شيء في ذلك، ولكن ما حرم هو ما يفعله البعض لتقديس وتعظيم هذه الحيوانات، أما أن ترسم لكي يستعمل في الزينة فلا مانع من ذلك   
“Pertanyaan: ‘Bagaimana pendapat anda tentang orang yang menghiasi tembok dengan gambar/lukisan sebagian hewan? Apakah berlaku pada permasalahan ini suatu hukum yang berlaku pada patung yang berbentuk jasad yakni hukum haram?’”   “Syekh as-Sya’rawi menjawab: ‘Hal di atas tidak perlu dipermasalahkan, hal yang diharamkan adalah perbuatan yang dilakukan sebagian orang berupa mengultuskan dan mengagungkan gambar hewan tersebut. Sedangkan melukis hewan dengan tujuan untuk digunakan menghias (tembok) maka tidak ada larangan untuk melakukannya” (Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, Mausu’ah Fatawa as-Sya’rawi, hal. 591)   Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keharaman menyimpan gambar yang disepakati oleh para ulama hanya berlaku pada gambar atau lukisan makhluk hidup yang memiliki bentuk (jism) atau memiliki bayangan dan diagungkan oleh pemiliknya, seperti patung misalnya. 
Sedangkan selain gambar dengan kriteria tersebut, ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya, sebagian ulama menghalalkan dan sebagian ulama yang lain mengharamkannya. Berbeda halnya ketika gambar atau lukisan bukan bergambar makhluk hidup, tapi berupa pemandangan alam, lukisan abstrak dan berbagai lukisan tak hidup lainnya, maka para ulama memperbolehkan lukisan tersebut.   
Sehingga sebenarnya bagi kita diperbolehkan untuk memilih salah satu di antara berbagai pendapat ulama dalam menyikapi gambar atau lukisan makhluk hidup yang biasa difungsikan untuk menghias rumah, selama pilihan kita atas pendapat tersebut tidak atas jalan meremehkan urusan agama (tasahul fid din) dan tetap mempertimbangkan penilaian masyarakat setempat. 
Yang pokok diperhatikan adalah tak boleh ada pengultusan berlebihan atas gambar. Wallahu a’lam.     Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/111985/pendapat-ulama-soal-memajang-gambar-atau-lukisan-di-rumah

Minggu, 13 Oktober 2019

HUKUM MENYEMBELIH HEWAN SEKARAT SEBAB TERTABRAK KENDARAAN ATAU SAKIT

Diskripsi Masalah:
Kebanyakan masyarakat kita jika ada hewan yang hampir mati (seperti, ayam, kambing dan sebagainya) karena tertabrak kendaraan, sakit, keracunan atau lainnya, mereka segera menyembelihnya dengan alasan sayang jika mati sia-sia.

Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum hewan yang disembelih dalam keadaan seperti diatas?
2. Bagaimana batas kehalalan hewan yang disembelih dalam keadaan sekarat?
Jawaban A :
Ditafsil / dirinci, antara lain, syarat hewan yang disembelih adalah:
binatang darat yang halal dimakan,
pada awal penyembelihan binatang masih memiliki hayat mustaqirrah.

فتح المعين بهامش اعانة الطالبين – (ج 2 / ص 394) –
ويشترط في الذبيح – غير المريض – شيآن.أحدهما: أن يكون فيه حياة مستقرة أول ذبحه ولو ظنا شدة حركة بعده، ولو وحدها – على المعتمد – وانفجار دم، وتدفقه إذا غلب على الظن بقاؤها فيهما – فإن شك في استقرارها لفقد العلامات حرم – الى ان قال-  وثانيهما: كونه مأكولا – وهو من الحيوان البري: الانعام، والخيل، وبقر وحش، وحماره، وظبي.

Dalam kasus diatas penyebab hewan yang sekarat adalah berbeda-beda, sehingga dengan memahami persyaratan hewan yang akan disembelih dapat disimpulkan:

1. Jika hewan yang sekarat dan disembelih didahului oleh faktor eksternal yang menjadi penyebab kematianya seperti tertabrak kendaraan, memakan makanan beracun, luka akibat diterkam binatang buas, terkena reruntuhan bangunan, maka HALAL untuk dikonsumsi jika kita dapati MASIH ADA HAYAT MUSTAQIRRAH. Namun apabila kita dapati hanya memiliki HAYAT MADZBUH  – walaupun kita sembelih- maka hukumnya HARAM untuk dikonsumsi, sebab kematianya bukan karena disembelih.

2. Jika hewan yang sekarat dan disembelih karena faktor internal seperti sakit atau lapar, maka hukumnya halal untuk dikonsumsi. Namun  jika hewan tersebut sakit disebabkanmemakan makanan beracun, yang menjadi penyebab kematianya, maka hukumnya haram untuk dikonsumsi.

Daftar Rujukan

الإقناع للشربيني – (ج 2 / ص 269) –
( والمجزىء منها ) أي الأربعة المذكورة في الحل ( شيئان ) وهما (قطع) كل الحلقوم و ( كل المريء ) مع وجود الحياة المستقرة أول قطعهما لأن الذكاة صادفته وهو حي كما لو قطع يد حيوان ثم ذكاه فإن شرع في قطعهما ولم تكن فيه حياة مستقرة بل انتهى لحركة مذبوح لم يحل لأنه صار ميتة فلا يفيده الذبح بعد ذلك – اى ان قال – ولا يشترط العلم بوجود الحياة المستقرة عند الذبح بل يكفي الظن بوجودها بقرينة ولو عرفت بشدة الحركة أو انفجار الدم ومحل ذلك ما لم يتقدمه ما يحال عليه الهلاك فلو وصل بجرح إلى حركة المذبوح وفيه شدة الحركة ثم ذبح لم يحل . وحاصله أن الحياة المستقرة عند الذبح تارة تتيقن وتارة تظن بعلامات وقرائن فإن شككنا في استقرارها حرم للشك في المبيح وتغليبا للتحريم فإن مرض أو جاع فذبحه وقد صار في آخر رمق حل لأنه لم يوجد سبب يحال الهلاك عليه ولو مرض بأكل نبات مضر حتى صار آخر رمق كان سببا يحال عليه الهلاك  فلم يحل على المعتمد.
(قوله مع وجود الحياة المستقرة الخ) هذا ان وجد سبب يحال عليه الهلاك والا فلايشترط وجودها بل يحل ولو آخر رمق. – الى ان قال– (قوله ومحل ذلك مالم تقدم مايحال عليه الهلاك الخ) صوابه ان تقدم مايحال عليه الهلاك الخ أى محل اعتبار الحياة المستقرة ولو بالظن ان تقدم سبب يحال عليه الهلاك فان لم يتقدم وذبح ولو آخر رمق حل ويدل لذك قوله بعد فان مرض الخ (قوله وفيه شدة الحركة) أى قبل الذبح وقوله ثم ذبح أى ولم يوجد منه حركة شديدة بعد الذبح ولا انفجار دم. (قوله فان مرض) ومنه الطاعون (قوله على المعتمد) وقال ابن حجر فى هذه الصورة يحل نظرا للمرض.
حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 2 / ص 578) –
وَحَاصِلُهُ : أَنَّ الْحَيَاةَ الْمُسْتَقِرَّةَ عِنْدَ الذَّبْحِ تَارَةً تُتَيَقَّنُ وَتَارَةً تُظَنُّ بِعَلَامَاتٍ وَقَرَائِنَ فَإِنْ شَكَكْنَا فِي اسْتِقْرَارِهَا ، حُرُمَ لِلشَّكِّ فِي الْمُبِيحِ وَتَغْلِيبًا لِلتَّحْرِيمِ.فَإِنْ مَرِضَ أَوْ جَاعَ .فَذَبَحَهُ وَقَدْ صَارَ آخَرُ رَمَقٍ حَلَّ لِأَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ سَبَبٌ بِحَالِ الْهَلَاكِ عَلَيْهِ .وَلَوْ مَرِضَ بِأَكْلِ نَبَاتٍ مُضِرٍّ حَتَّى صَارَ آخَرُ رَمَقٍ كَانَ سَبَبًا يُحَالُ عَلَيْهِ الْهَلَاكُ .فَلَمْ يَحِلَّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ قَوْلُهُ : ( فَلَمْ يَحِلَّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ ) : أَيْ مَا لَمْ تُوجَدْ الْحَرَكَةُ الشَّدِيدَةُ أَوْ انْفِجَارُ الدَّمِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ كَمَا فِي ع ش .
حاشية البجيرمي – (ج 4 / ص 288) –
قوله ( إذ لم يوجد فعل الخ ) فإن كان هناك سبب يحال عليه الهلاك فلا بد من الحياة المستقرة فإن وجدت حل وإلا فلا ومن ذلك البهيمة التي تأكل نباتا مضرا ويحصل لها تغير في الباطن وهو المسمى بالنفاخ ثم تذبح فإنها تحل إن وجد عند قطع الحلقوم والمريء حركة عنيفة أو انفجار الدم  قوله ( أو نحوه ) كأن أكل نباتا يؤدي إلى الهلاك أو انهدم عليه سقف أو جرحه سبع أو هرة فعلم أن النبات المؤدي لمجرد المرض لا يؤثر بخلاف المؤدي إلى الهلاك غالبا فيما يظهر إذ لا يحال عليه إلا حينئذ س ل وعبارة شرح م ر ولو انهدم سقف على شاة أو جرحها سبع فذبحت وفيها حياة مستقرة حلت وإن تيقن موتها بعد يوم أو يومين وإن لم يكن فيها حياة مستقرة لم تحل ا هـ   وقوله بعد يوم أو يومين ليس بقيد والأولى أن يقول وإن تيقن موتها بعد لحظة
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 347) –
ولو جرح حيوان أو سقط عليه نحو سيف أو عضه نحو هرة فإن بقيت فيه حياة مستقرة فذبحه حل وإن تيقن هلاكه بعد ساعة وإلا لم يحل .
وقوله بعد ساعة أي لحظة كما في ع ش ونصه قوله بعد يوم أو يومين ليس بقيد بل المدار على مشاهدة حركة اختيارية تدرك بالمشاهدة أو انفجار الدم بعد ذبحها أو وجود الحركة الشديدة , وكان الأولى أن يقول وإن تيقن موتها بعد لحظة  اهــ
بغية المسترشدين – (ج 1 / ص 545) –
(مسألة : ك) : تعرف الحياة المستقرة بأمارة كحركة شديدة بعد القطع ، أو الجرح ، أو تفجر الدم أو تدفقه ، أو صوت الحلق ، أو بقاء الدم على قوامه وطبيعته ، وتكفي الأولى وحدها ، وما يغلب على الظن إبقاؤها من الأخيرات فإن شك فكعدمها قاله في التحفة
حاشية الجمل – (ج 10 / ص 344) –
(قوله فيه حياة مستقرة)- الى ان قال – وقرر شيخنا الأجهوري هذا المقام فقال وضابطها أي الحياة المستقرة أن يكون فيه حركة اختيارية وتعرف بانهيار الدم أو بالحركة العنيفة أو بهما
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 346) –
(قوله حياة مستقرة أول ذبحه) أي عند ابتداء ذبحه خاصة ولا يشترط بقاؤها إلى تمامه خلافا لمن قال به فلا يضر انتهاؤه لحركة مذبوح قبل تمام القطع إلا إن قصر في الذبح بأن تأنى فيه حتى وصل إلى ذلك قبل تمامه فإنه يحرم لتقصيره كما مر فإن لم توجد الحياة المستقرة أول الذبح ذبح كان ميتة إلا ما استثني وهو المريض الآتى وظاهر صنيعه أنه تشترط الحياة المستقرة في غير المريض مطلقا وجد سبب يحال عليه الهلاك أو لا.
والذي في حواشي البجيرمي على الخطيب والشرقاوي والباجوري: أن محل اشتراط وجود الحياة المستقرة في أول الذبح، عند تقدم سبب يحال عليه الهلاك كأكل نبات مضر وإلا بأن لم يتقدم سبب أصلا أو تقدم سبب لكن لا يحال عليه الهلاك كالمرض فلا يشترط ذلك. بل إذا وصل إلى آخر رمق ثم ذبح حل – الى ان قال – ونص عبارة الباجوري: ولا تشترط الحياة المستقرة إلا فيما إذا تقدم سبب يحال عليه الهلاك، كأكل نبات مضر، وجرح السبع للشاة، وانهدام البناء على البهيمة، وجرح الهرة للحمامة، وعلامتها: انفجار الدم والحركة العنيفة، فيكفي أحدهما على المعتمد وأما إذا لم يوجد سبب يحال عليه الهلاك فلا تشترط الحياة المستقرة، بل يكفي الحياة المستمرة، وعلامتها: وجود النفس فقط. فإذا انتهى الحيوان إلى حركة مذبوح بمرض أو جوع، ثم ذبح: حل، وإن لم ينفجر الدم، ولم يتحرك الحركة العنيفة خلافا لمن يغلط فيه. اه. ومثلها: عبارة الشرقاوي.

Jawaban B :  Harus ada hayat mustaqirroh, jika hewan yang disembelih terdahului oleh faktor eksternal yang menjadi penyebab kematianya.
Hayat mustaqirrah adalah kehidupan binatang yang masih disertai melihat serta bergerak dengan gerakan ikhtiar bukan gerakan keterpaksaan (dloruri). Dan Hayat mustamirrah adalah kehidupan binatang yang tetap ada sampai keluarnya ruh (nyawa) dari jasad. Sedangkan Hayat/harokat/’aisy madzbuh adalah kehidupan binatang yang tidak disertai dengan kemampuan melihat, bersuara dan bergerak dengan gerakan ikhtiyari, akan tetapi bersifat keterpaksaan (dlaruri).

إعانة الطالبين (ج 2 / ص 343) 
(قوله: وبه حياة مستقرة) أي والحال أن فيه حياة مستقرة، أي ثابتة مستمرة، وهي أن تكون الروح في الجسد ومعها إبصار، ونطق، وحركة اختيارية لا اضطرارية. واعلم أنه يوجد في عباراتهم حياة مستقرة، وحياة مستمرة وحركة مذبوح ويقال لها عيش مذبوح والفرق بينها أن الحياة المستقرة هي ما مر. والمستمرة هي التي تستمر إلى خروج الروح من الجسد. وحركة المذبوح هي التي لا يبقى معها إبصار باختيار، ولا نطق باختيار، ولا حركة اختيارية، بل يكون معها إبصار ونطق وحركة إضطرارية. وبعضهم فرق بينها: بأن الحياة المستقرة هي التي لو ترك الحيوان لجاز أن يبقى يوما أو يومين. والحياة المستمرة هي التي تستمر إلى انقضاء الاجل. وحركة المذبوح هي التي لو ترك لمات في الحال. والاول هو المشهور.

Contoh kasus:
Misalnya ada ayam yang tergilas oleh kendaraan, lalu gerakanya sudah tidak beraturan (jawa; Klepek-klepek) walaupun telah disembelih, maka ayam tersebut hukumnya haram untuk dikonsumsi.

Sumber: https://aswajamudabawean.wordpress.com/2017/09/16/hewan-sekarat-lalu-disembelih-halal/

Rabu, 09 Oktober 2019

SISA DARAH DALAM DAGING


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saat hari raya Idul Adha, masyarakat muslim hampir seluruhnya dapat merasakan daging kurban. Berbagai menu olahan daging dibuat, mulai dari sate, gule, rendang, dan lain-lain. Namun, permasalahan muncul ketika proses perebusan daging mentah. Yang mana, air rebusan tersebut seketika menjadi kemerah-merahan. Secara pasti, hal tersebut berasal dari sisa-sisa darah dari daging yang direbus. Meskipun sebelumnya daging tersebut telah dibersihkan dan dicuci semaksimal mungkin. Yang kami tanyakan, apakah benar bahwa sisa darah dalam daging tidak najis? Apakah air rebusan tersebut juga dihukumi najis? Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
(Sofia- Jombang)
_________________

Admin

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Perlu diketahui bahwa darah yang tersisa dalam daging statusnya tetap dihukumi najis, namun ditolerir (ma’fu) oleh syariat. Sebagaimana penjelasan syekh Zakaria al-Anshori dalam kitabnya yang berjudul Asna al-Mathalib:

الدَّمُ الْبَاقِي عَلَى لَحْمِ الْمُذَكَّاةِ وَعَظْمِهَا نَجِسٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ فَقَدْ قَالَ الْحَلِيمِيُّ وَأَمَّا مَا بَقِيَ مِنْ الدَّمِ الْيَسِيرِ فِي بَعْضِ الْعُرُوقِ الدَّقِيقَةِ خِلَالَ اللَّحْمِ فَهُوَ عَفْوٌ

“Darah yang tersisa dalam daging atau tulang hewan yang telah disembelih statusnya najis yang ditolerir. Al-Halimi juga berkata: Adapun sedikit darah yang tersisa dalam urat-urat kecil yang ada pada daging, hukumnya (najis) yang ditolerir”.[1]
Mengenai persoalan air rebusan yang berubah warna menjadi kemerah-merahan tetap dihukumi najis, namun juga ditolerir syariat (ma’fu). Dengan syarat, sebelum proses perebusan, daging telah dibersihkan dan dicuci semaksimal mungkin. Dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, syekh Sulaiman al-Jamal menjelaskan:

وَوَقَعَ السُّؤَالُ فِي الدَّرْسِ عَمَّا يَقَعُ كَثِيرًا أَنَّ اللَّحْمَ يُغْسَلُ مِرَارًا وَلَا تَصْفُو غُسَالَتُهُ، ثُمَّ يُطْبَخُ وَيَظْهَرُ فِي مَرَقَتِهِ لَوْنُ الدَّمِ فَهَلْ يُعْفَى عَنْهُ أَمْ لَا فَأَقُولُ الظَّاهِرُ الْأَوَّلُ؛ لِأَنَّ هَذَا مِمَّا يَشُقُّ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ

“Dalam suatu pembelajaran, muncul sebuah pertanyaan yang sering terjadi, yaitu: Sesungguhnya daging yang telah dibasuh berkali-kali sehingga sisa air basuhannya menjadi keruh kemudian daging tersebut dimasak dan mengeluarkan warna darah dari air rebusannya, apakah hal tersebut ditolerir ataukah tidak?. Aku menjawab: Yang jelas adalah yang pertama (yaitu ditolerir). Karena permasalahan ini sulit untuk dihindari”. [2]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa status darah dari yang tersisa dalam daging hukumnya najis namun ditolerir (ma’fu). Kelonggaran hukum ini juga berlaku dalam permasalahan air rebusan yang berubah warna menjadi kemerah-merahan disebabkan darah tersebut dengan syarat telah melalui proses pembersihan maksimal sebelumnya. []waAllahu a’lam
 
____________________

[1] Zakaria al-Anshori, Asna al-Mathalib, vol. 1 hal. 12.
[2] Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘Ala Syarh al-Manhaj, vol. 1 hal 193, cet. Darul Fikr.

Sumber: https://lirboyo.net/sisa-darah-dalam-daging/

KESUCIAN TOILET UMUM

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ini merupakan kejadian realita yang sering saya alami ketika akan bersuci di toilet umum yang hanya tersedia air di bak kecil. Terkadang keraguan akan kesucian air membuat saya bingung. Bagaimanakah hukumnya bersuci menggunakan air bak yang ada di toilet umum, memandang kondisinya yang rentan terkena najis? Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ab. Fida – Jakarta.
______________________

Admin

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Sebelumnya kami berterima kasih dan mengapresiasi kepada saudara penanya yang telah kritis dengan hukum syariat yang ada di sekitar.
Masyarakat mengakui bahwa toilet merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting. Hal ini dibuktikan dengan ketersediaan toilet di berbagai tempat dan fasilitas umum, seperti SPBU, terminal, stasiun dan lain-lain. Namun sayang, hal ini tidak dibarengi dengan ketersediaan air yang memadai dan  sering tidak ideal untuk digunakan bersuci. Bak air yang berukuran kecil serta posisinya yang rentan akan terkena cipratan najis. Sementara toilet itu terkadang merupakan satu-satunya alternatif sebagai tempat untuk bersuci.
Menaggapi keadaan seperti itu, syekh Zainuddin al-Malibari pernah menjelaskan dalam kitabnya yang berjudul Fathul Mu’in:

قَاعِدَةٌ مُهِمَّةٌ: وَهِيَ أَنَّ مَا أَصْلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَنَجُّسُهُ لِغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِيْ مِثْلِهِ فِيْهِ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَيِ الْأَصْلِ وَالظَّاهِرِ أَوِ الْغَالِبِ أَرْجَحُهُمَا أَنَّهُ طَاهِرٌ عَمَلًا بِالْأَصْلِ الْمُتَيَقَّنِ لِأَنَّهُ أَضْبَطُ مِنَ الْغَالِبِ الْمُخْتَلَفِ بِالْأَحْوَالِ وَالْأَزْمَانِ

“Kaidah penting: Adapun setiap perkara yang memiliki hukum asal suci kemudian ada prasangka akan kenajisannya dikarenakan kebiasaan hukum najis pada hal serupa, maka memiliki dua pemilahan hukum yaitu hukum asal dan realita yang sering terjadi. Adapun yang paling unggul di antara keduanya adalah status suci dengan mempertimbangkan hukum asalnya. Karena hukum asal yang didasari keyakinan dianggap lebih kuat dari pada hukum realita yang masih tak menentu sesuai keadaan dan waktu”.[1]
Berdasarkan keterangan tersebut, maka air yang ada di bak dapat digunakan untuk bersuci dengan memandang hukum asal yang diyakininya, yaitu suci. Sedangkan kondisi air yang rentan akan terkena najis masih bersifat praduga tanpa adanya penguat. []waAllahu a’lam

Sumber: https://lirboyo.net/kesucian-toilet-umum/

Penjelasan singkat tentang sumber kuota data internet

  Internet itu apa? Internet adalah jaringan komputer global yang terhubung bersama yang memungkinkan pengguna untuk saling bertukar info...