Sabtu, 07 Februari 2015

Bermadzhab, Untuk Apa?

Ketika kita membicarakan madzhab-madzhab
fiqih, sejatinya kita tidak hanya membicarakan Imam
Abu Hanifah sendiri, juga tidak Imam Mailk bin Anas
sendirian sebagai “Founder” madzhab al-Malikiyah,
tidak juga membicarakan Imam al-Syafi’i sendiri saja,
dan bukan juga kita membicarakan fatwa-fatwa Imam Ahmad saja sebagai “ikon” madzhab al-Hanabilah.

Akan tetapi, bukan beliau-beliau yang kita
bicarakan, melainkan kita sedang membicarakan
sebuah institusi besar yang diampuh oleh orang-
orang dengan keilmuan luas yang mumpuni dalam
bidang syariah dan hukum, serta tentara-tentara
akademisi yang militant dalam melakukan penelitian
hukum serta menggali illah dan hikam dari setiap
hukum dan dalil yang ada, baik itu ayat atau juga
hadits.

Mereka yang bekerja untuk istitusi madzhab
bukan dalam waktu harian atau bulanan, akan tetapi
mereka bekerja dalam waktu tahunan bahkan jauh
lebih panjang dari sekdar tahunan. Bukan hanya itu,
pekerjaan mereka pun bersambung, tidak hanya
berhenti pada satu masa; apa yang dikerjakan di
masa sebelumnya terus dikaji dan disempurnakan
oleh para punggawa-punggawa madzhab di masa
selanjutnya.

Mereka inilah yang kemudian mengkaji dan
mendalami kaidah-kaidah ushul (induk) yang telah
dirumuskan oleh Imam madzhab mereka, serta
menjelaskan apa yang rancu dari kaidah tersebut,
mengoreksi, menambahkan serta memperbaiki apa
yang sekiranya punya kemungkinan salah aplikasi.
Kemudian memberikan sample-sample furu’ (cabang)
dalam kktab-kitab mereka, serta juga merumuskan
kaidah ushul baru yang Imam mereka belum
merumuskan itu berdasarkan apa yang sudah
digariskan dalam madzhab sang Imam.

Sampai kita melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sang Imam madzhab dan tentara ulama dalam
setiap madzhab yang bekerja puluhan bahkan
ratusan tahun tersebut tidak lagi meninggalkan
masalah yang kosong jawaban kecuali sudah
disiapkan oleh mereka kaidah ushul untuk dicocokan
dengan masalah yang muncul.

Itu dia kenapa dalam satu madzhab kita
menemukan adanya tingkatan-tingkatan ijtihad dan
level ulama yang berbeda-beda dengan kelas mereka
masing-masing. Karena memang semua bekerja
dalam bidang dan keahlian masing-masing, guna
saling melengkapi dan menyempurnakan sebuah
“jalan” (madzhab) bagi para awam untuk bisa
memahami syariah ini secara komprehensif. Di
situlah fungsi madzhab.

Setiap madzhab punya level-level dan tingkatan
mujtahid yang berbeda dengan madzhab lain, hanya
saja secara global kita bisa mengklasifikasi dalam 2
level mujtahid;

[1] Mujtahid Muthlaq,
[2]mujtahid fi al-Madzhab.

Dari ulama-ulama pada 2 level ini lah kemudian
muncul banyak sekali istilah-istilah ushul dalam
masing-masing madzhab, serta merumuskan
beberapa kaidah ushul dan Fiqih-nya. seperti kaidah
‘am wa al-khash, nash, Zahir, Majaz, Muta’awwil,
Muhtamal, naskh mansukh.

Lebih rumit lagi istilah-istilah dalam istinbath
hukum, seperti haml al-Muqayyad ‘ala al-Muthlaq,
takhriij ushul ala al-furu’, takhrij Furu ala al-Ushul
dan lain-lain yang mana para ulama madzhab
tersebut bekerja dalam jangka abad (bukan tahunan)
untuk sebuah “jalan” bersyariah.

Tingkatan-tingkatan Mujtahid dalam Madzhab:

1. Muthlaq Muthlaq

[1.1] Mujathid Muthlaq Mustaqil

Beliau adalah 4 Imam yang masyhur;
-Imam Abu Hanifah al-Bu’man,
-Imam Malik bin Anas,
-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i,
-Imam Ahmad bin Hanbal.
Beliau-beliau adalah orang pertama yang
merumuskan dan menggariskan jalan madzhab serta
memformulasikan kaidah-kaidah ushul (induk) untuk
madzhab serta sedikit mambahas masalah Furu’-nya.

[1.2] Mujtahid Muthlaq Muntasib

Mereka yang ada dalam level ini sejatinya
orang-orang dengan keilmuan yang sudah mencapai
derajat Mujtahid muthlaq setara dengan Mujtahid
Muthlaq Mustaqil. Hanya saja mereka tidak
menciptakan kaidah baru yang independen, akan
tetapi mereka tetap loyal kepada guru-guru mereka,
yaitu para Imam yang empat.

Mereka berjalan sesuai dengan apa yang sudah
digariskan oleh guru-guru mereka, dan pekerjaan
yang paling sangat terlihat jelas hasilnya ialah
mereka ini yang menjelaskan kaidah-kaidah yang
sudah digariskan oleh guru mereka karena mereka
adalah orang-orang terdekat sang Imam. Mereka
yang menjadi penghubung antara kecerdasan sang
Imam dan keawaman umat Islam terhadap syariah.

Kadang mereka juga berbeda dalam beberapa
hal furu’iyyah dengan guru-guru mereka, akan tetapi
tetapi ber-intisab kepada madzhab guru mereka.

Imam Ya’qub Abu Yusuf dan juga Imam Muhammad
al-Syaubani, contoh 2 mujtahid muntasib dari
madzhab al-Hanafiyah.

Imam Ibn al-Qasim serta
Imam Sahnun dari madzahb al-Malikiyah.

Imam al- Buwaithi dan juga Imam al-Muzani dari kalangan al-Syafi’iyyah.

2. Mujtahid fi al-Madzhab

[2.1] Mujtahid Mukharrij atau Ashhab al-Wujuh

Mereka adalah tingkatan ulama yang hidup
setelah masa Mujtahid muntasib. Dalam sejarahnya,
mereka inilah yang membuat madzhab menjadi jauh
lebih berkembang dan lebih dinamis dibanding
sebelumnya.

Mereka tidak membuat kaidah-kaidah baru
dalam madzhab, akan tetapi mereka melengkapi apa
yang terlewat dari ulama-ulama madzhab
sebelumnya. Mereka menyimpulkan hukum
beberapa –bahkan banyak- hukum masalah
furu’iyyah yang tidak dijelaskan oleh sang Imam dan
para murid serta sahabatnya, dengan menggunakan
dasar serta kaidah induk yang telah dirumuskan
oleh ulama sebelumnya dalam mdazhab tersebut,
sambil meneliti dan menyempurnakn redaksi-redaksi
kaidah yang –sekiranya- tidak sempurna.

[2.2] Mujtahid Tarjih

Mereka hidup berbarengan atau setelah ulama
mujtahid takhrij. Apa yang mereka lakukan tidak
kalah penting dengan apa yang dilakukan oleh
pendahulunya, walaupun memang tingkatan
keilmuan yang mereka miliki tidak seluas apa yang
dimiliki oleh ulama sebelumnya.

Bisa dikatakan mereka yang membuat madzhab
lebih sistemik dan mudah untuk diklasifikasi. Mereka
melakukan verifikasi dalam setiap hukum-hukum
yang sudah disimpulkan oleh para pendahulunya,
jika memang itu ada 2 atau 3 atau bahkan lebih
dalam satu masalah yang sama. Dan adanya 2
sampai lebih pendapat dalam masalah yang sama di
satu madzhab adalah sesuatu yang tidak bisa
dihindari.

Dan dari perbedaan-perbedaan itu, mujtahid
tarjih-lah yang kemudian mengklasifikasi mana yang
sesuai dengan madzhab dan mana pendapat yang
bukan resmi pendapat madzhab melainkan ijtihad
personal salah satu ulamanya saja.

Mereka yang sering sekali menyebut dalam
kitab-kitab mereka setelah membandingkan 2 atau
lebih pendapat yang berseberangan dengan istilah;
hadza aula (ini pendapat yang lebih utama), hadza
ashahhu riwayatin (ini riwayat yang benar), hadza
huwa al-madzhab (inilah pendapat madzhab), hadza
huwa azhar ‘inda al-madzhab (ini yang lebih jelas
dalam madzhab), hadza awfaq lil-Qiyas (ini pendapat
yang lebih sesuai dengan qiyas).

Beberapa ulama memasukan tingkatan ulama
ini ke tingkatan di atasnya, yakni tingkatan ujtahid
Mukharrij, melihat pekerjaan yang dilakukan hampir
sama, dan banyak ulama madzhab yang melakukan 2
pekerjaan ini. Akan tetapi, Imam Muhammad Abu
Zahrah dalam kitabnya Ushul-Fiqh menjelaskan
bahwa keduanya berbeda.

[2.3] Mujtahid fatwa

Mereka adalah ulama-ulama yang memang tidak sampai pada level mujtahid muthlaq, dan tidak
juga setara dengan mujtahid mukharrij atau
mujtahid tarjih dalam madzhab. Akan tetapi mereka
adalah seorang faqih yang mumpuni, royal terhadap
mafdzhab Imamnya, menghafal dalil dalam setiap
masalah dari pendapat-pendapat madzhab tersebut.
Ima Ibn Shalah dalam kitabnya Adabul-Muftiy
wa al-Mustaftiy, menyebutkan bahwa ulama level ini
tidak sampai pada derajat Mujtahid tarjih atau juga
mukhaarij karena punya cacat dalam kemampuan
ushul-fiqh madzhabnya.

Untuk Apa Ini Semua?

Lalu menjadi pertanyaan kemudian, sebenarnya untuk apa itu semua? Kenapa harus ada banyak istilah rumit? Kenapa harus banyak orang
terlibat?

Jawabannya ialah untuk mengurangi dan
memperkecil kemungkinan salah dan keliru dalam
memahami syariah serta menyimpulkan sebuah
hukum dari teks-teks syariah. Karena semakin banyak
orang yang terlibat di dalamnya, maka semakin banyak sesuatu yang bisa dikoreksi. Dan itu terus berulang di setiap generasinya.

Apa yang sudah ada di masa ulama
sebelumnya, deteliti oleh ulama sesudahnya,
disempurnakan, dijelaskan apa yang masih rancu
dan ditambahka apa yang mungkin harus
ditambahkan.

Semakin banyak orang yang bekerja
untuk menyempurnakan itu, maka semakin sedikit
kesalahan yang akan timbul.

Layaknya sebuah penemuan teknologi, yang
dari tahun ketahun selalu diteliti dan diupgrade ke
penemuan yang lebih muthakhir dan yang terpenting
ialah mempermudah pengguna serta memberikan
kenamanan, dan penting lagi yaitu memperkecil
kemungkinan bahaya yang muncul yang bisa saja
melukai pengguna.

Jadi ini bukan masalah mempersulit syariah,
justru ini memudahkan kita untuk memahami syariah
secara komprehensif, dengan melihat kenyataan
bahwa banyak dalil baik dari ayat atau hadits yang
nyatanya masing-masing bersinggungan dalam
kandungan hukumnya.

Dan harus dicamkan baik-baik, bahwa
memahami dalil-dalil yang ada itu tidak cukup untuk
hanya diterjemahkan saja.

Kalau seandainya syariah serta dalil-dalilnya bisa dipahami hanya dengan terjemahannya saja, lalu buat apa ulama sejak 14 abad tahun lalu repot-repot membuat kitab tafsir yang berpuluh jilid?

Buat apa juga repot-repot menulis kitab syarah (penjelasan) hadits kalau hanya
bisa dipahami dengan terjemah?

Melihat kenyataan seperti itu, lalu apakah
masih kita akan mengatakan “kita kembali ke al-
Quran dan hadits langsung, tanpa harus bermadzhab
karena mereka juga manusia yang bisa salah, dan
perkataan mereka tidak bisa dijadikan dalil!”

Masih kah kita berkata demikian?

Kalau madzhab bisa salah, apakah kita terbebas
dari kesalahan dalam memamahi syariah denga akal
yang sempit ini?

Mana yang lebih mungkin salah, pekerjaan
yang dikerjakan oleh satu kelompok besar yang
bekerja saling melengkapi, atau mereka yang bekerja
sendirian?

Mana yang lebih mungkin salah, para ulama
madzhab yang hidupnya jauh lebih dekat ke masa
Nabi atau kita yang sudah terpisah ribuan tahun dari
zaman Nabi?

Wajib kembali ke al-quran dan sunnah, akan
tetapi kita tidak mungkin bisa memahami al-quran
dan sunnah tanpa peran sebuah madzhab fiqih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penjelasan singkat tentang sumber kuota data internet

  Internet itu apa? Internet adalah jaringan komputer global yang terhubung bersama yang memungkinkan pengguna untuk saling bertukar info...